Ganjaran Bagi Sang Pembunuh
Halaman 1 dari 1
Ganjaran Bagi Sang Pembunuh
Ganjaran Bagi Sang Pembunuh
Sejak umur 7 tahun, Wan Tik-jo laki - laki kelahiran Se-yang di propinsi
Su-cwan ini sudah ditinggal mati ayahnya. Untung orang tuanya kaya raya mewariskan banyak harta benda yang tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.
Sejak dilahirkan Wan Tik-jo yang bertubuh cebol dengan penyakit tulang yang sukar disembuhkan ini, teramat disayang dan dimanjakan oleh ibunya Cau-,i. maklumlah darah daging satu-satunya pewaris keluarga Wan ini, .benar - benar merisaukan sanubari sang bunda, maka dengan berbagai upaya Cau-s1 berusaha untuk memberikan yang paling baik lagi pilihan, untuk itu tak segan - segan kepada putra yang tunggal ini.
Ia memberikan makanan yang bergizi tinggi untuk menunjang kesehatan tubuhnya yang tidak tumbuh secara normal. Hal itu terjadi sejak Wan Tik-jo berusia 5 tanun dan dinyatakan sembuh dan suatu penyakit yang hampir melumpuhkan kedua kakinya, setiap hari Cau-si menyem beleh dua ekor ayam atau itik, dimasak dengan racikan obat yang paling mujarab, kaldu ayam itu diberikan kepada sang putra.
Untuk mensuplai makanan bergizi putranya ini, di depan dan dli belakang pekarangan rumahnya, Cau-si beternak ayam dan itik secara hesar-besaran, sejak umur 5 sampai Wan Tik-jo berusia 19. dua ekor ayam atau itik disembeleh tiap hari tanpa putus atan berhenti.
Lantaran perbuatan Cau-si yang main bunuh unggas secara berkepanja ngan ini. jelas dan pasti bahwa dia takkan memperoleh pengampunan dan maaf dari Yang Maha Kuasa, para malaikat dan dewata yang berada di akhirat justru teramat marah, karena perbuatannya boleh dianggap teramat kejam dan setimpal kalau diberi ganjaran yang sesuai dengan perbuatannya. Tatkala Wan Tik-jo bcrusia 15, suatu pagi waktu bangun tidur, Cau-si mendapatkan kulit badannya gatal-gatal dan membengkak merah seperti bekas gigitan nyamuk, makin lama bercak-bercak merah itu makin meluas keseluruh badan, lima hari kemudian bercak-bercak merah itu bernanah dan sakitnya makin tak tertahankan. Belasan tabib pandai diundang untuk mengobati penyakitnya itu, namun puluhan macam obat sudah ditelannya, tiada satu pun yang dapat menyembuhkan penyakit kulitnya itu.
Betapa berat dan payah siksa derita yang menimpa Cau-si, dapatlah kita bayangkan, namun ibu yang satu ini tidak pernah mengeluh, meski bertahun- tahun lamanya penyakit kulit itu tidak tersembuhkan bahkan membusuk dan mengeluarakan bau busuk, namun kasih sayang terhadap putranya tetap tebal, porsi makanan dua ekor ayam atau itik Tiap hari untuk putranya tetap berlangsung.
Wan Tik-jo adalah pemuda yang berhati polos dan soleh, sejak masih kecil ia sudah mengerti bagaimana harus berbakti terhadap ibunya yang berjerih payah merawat dan rnengasuh dirinya yang tanpa-daksa. Melihat ibunya dihingapi penyakit kulit yang begitu menjijikan, dalam hati ia sudah maklum lantaran apa ibunya terserang penyakit kulit itu. Pernah timbul hasrat dalam sanubarinya untuk membujuk sang ibu supaya menghentikan penyembelihan ayam dan itik itu. Pernah ia membinmbing ibunya kebelakang rumah, melihat semua tulang-tulang dan bulu-bulu ayam dan itik yang bertumpuk menggunung, tapi semua usaha ibunya itu juga adalah untuk menunjang kesehatan dirinya, apapun alasannya. Sang bunda menolak bujukan putranya untuk menghentikan penyembelihan ayam dan itik. Walau hati kecilnya merasa sedih dan tersiksa namun Wan Tik-jo tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya ia mandah saja membiarkan perbuatan sang ibu, menyembelih dua ekor ayam atau itik tiap hari untuk putranya.
Hari ke hari penyakit Cau-si bertambah parah, selama tujuh tahun ia rebah di ranjang dengan rintihan dan jeritan-jeritan yang menyayat hati. Sekujur badannya membusuk dan berbau busuk, menjelang ajalnya rintihan dan jeritannya berubah mirip suara ayam dan itik, dengan jari-jari kedua tangannya ia mengaruk dan mencakar badanya sendiri, darah segar tak terbendung membasahi sekujur badan, setelah tujuh hari tujuh malam tersiksa dan menderita baru menghemuskan napas terakhir.
Waktu ibunya memanggil, Wan Tik-jo sudah dewasa, dengan memdelong ia saksikan kematian ibunya yang mengenaskan, sepanjang hari air matanya berderai hatinya sungguh sedih seperti disayat-sayat ia tahu siksa derita yang dialami ibunya lantaran dosa-dosanya menyembelih ayam dan itik untuk menunjang kesehatan badannya, maka diam-diam ia bersumpah untuk berpantang membunuh. Di rumahnya tidak boleh memelihara ayam, itik atau unggas lainnya.
Sejak kematian ibunya ia mulai makan secara vegetanis, hidangan yang disantapnya tiap hari tiada satupun barang berjiwa tak lupa pagi sore ia sujud sembayang dan memanjatkan doa mohon kemurahan Yang Maha Kuasa untuk mengampuni dosa-dosa ibunya.
Beberapa bulan setelah itu Wak Tin-jo meninggal dunia. Cerita ini beralih pada seorang wanita yang bernama Wan Ling-koh, Wan Ling-koh adalah famili dekat Wan Tik-jo, anak dari pamannya yang tinggal dilain desa.
Setahun yang lalu Wan Tik-koh menikah dengan seorang pemuda dari Negara Chi, namun Wan Ling-koh meninggal dunia waktu sulit melahirkan Nah, kisah menceritakan arwah Wan Ling-koh yang sudah meninggal dunia, digusur kehadapan Giam-lo-ong, kepada hakim pembantunya Coh-kang-ong memerintahkan supaya rnemeriksa riwayat hidup Wan Ling-koh semasa berada di dunia fana. Hakim akhirat memberikan laporannya :“Perempuan ini bernama Wan Ling-koh ditakdirkan mati waktu melahirkan anaknya. Tapi tiga kali ia pernah menasehati sang mertua supaya tidak menebang dan membakar pohon yang menjadi sarang semut. Pernah pula membujuk sang suami untuk mencetak 5000 jilid buku yang berisi penjelasan pantang membunuh, dan menderma uang untuk mencetak 3000 exemplar Pang-sing-king, ajaran yang menganjurkan kepada manusia supaya tidak memhunuh sesamanya dan membebaskan binatang- binatang peliharaan yang terbelenggu kebebasannya. Hatinya bijak lagi welas asih, menurut petunjuk langsung dan. putusan Thian-ting, sepantasnya ia memperoleh perpanjangan usia selama 15 tahun.”
Maka Coh-kang-ong segera memerintahkan petugasnya yang berbaju hijau membawanya keluar dan dihantar kembali ke dunia fana.
Waktu Wan Ling-koh mengikuti petugas yang akan membimbingnya keluar dan akhirat, tatkala tiba di ambang pintu gerbang merah yang berukir warna emas, mendadak ia mendengar suara yang memanggil namanya, waktu ia menoleh dilihatnya seorang perempuan dengan rambut awut-awutan dan sekujur badan berlepotan darah sedang melambaikan tangan kearahnya, Wan Ling-koh mengenal perempuan itu tak lain adalah bibinya Cau-si atau ibunda Wan Tik-jo. Sambil meratap perempuan itu menjerit kearahnya :“Semasa hidup di dunia fana, dosaku sungguh tidak terampunkan lagi, maka di akhirat aku tersiksa, kalau kau sudah kembali ke dunia fana, tolong sampaikan kepada putraku, supaya Ia banyak beramal dan berbuat kebajikan menolong sesamanya, kebaikannya itu akan banyak mengurangi tempoku menderita diakhirat ini. Bagaimana keadaanku selanjutnya, akan kukisahkan padanya dalam mimpi.”
Baru saja Cau-si habis bicara, dan samping pintu muncul setan kepala kerbau berambut merah yang bertampang buas, dengan tombak trisula ditangannya Ia menusuk leher perempuan itu lalu diseret masuk kesebelah dalam, darah tampak meleleh dan luka di leher Cau-si.
Melihat adegan yang seram menakutkan itu, sungguh pecah nyali Wan Ling-koh, saking takut badan sampai gemetar dan mecucurkan keringat dingin, bergegas Ia membalik badan lalu berlari menyusul setan baju hijau yang akan mengantarnya kembali ke dunia fana.
Sudah setengah hari Wan Ling-koh meninggal dunia, jenasahnya masih membujur kaku di pembaringan, untung belum dimasukan ke dalam layon. Badannya yang semula sudah dingin kaku tiba-tiba menghangat, tiba-tiba kelopak matanya bergerak-gerak lalu membuka mata dan kaki tangan pun mulai bergerak. Pelan-pelan Ia bangun berduduk, sudah tentu kejadian yang tak terduga ini mengejutkan dan menggemparkan seluruh keluanga, syukurlah mereka cukup tabah menghadapi kenyataan yang dihadapi ini, paling girang sudah tentu adalah suaminya, syukur pula putra yang dilahirkan selamat dan sehat.
Beberapa hari kemudian, Wan Ling-koh berkunjung kerumah Wan Tik jo serta menceritakan pengalamannya, dituturkan pula bagaimana di ambang pintu gerbang akhirat ia bertemu dengan ibu Wan Tik-jo serta pesan yang minta disampaikan kepada putranya.
Wan Tik-jo memang anak berbakti, ia setelah tahu penderitaan yang diálami ibunya di akhirat, betapa sedih dan pilu. hatinya. Sejak hari itu ia bekerja lebih keras, berupaya melakukan kebaikan. beramal menolong simiskin. mengadakan upacara sembahyang yang dipimpin kawanan Hwesio, sementara setiap pagi dan sore, Wan Tik-jo sendiri juga selalu membaca mantra dengan harapan dapat menebus dosa-dosa ibunya, selama sembilan belas tahun tak pernah Wan Tik-jo merasa Jemu atau bosan, padahal waktu itu usianya sudah tiga puluh delapan tahun, namun selama ini belum perah ia beroleh mimpi dan ibunya.
Isteri Wan Tik-jo dari marga Si, segenap keluarga mertuanya juga dianjurkan untuk beramal dan banyak melakukan perbuatan baik bagi sesamanya.
penduduk desa juga dianjurkan untuk tidak membunuh, dianjurkan untuk rnencetak kitab-kitab suci, serta ikut menyebar luaskan ajaran agama.
Suatu ketika, waktu Wan Tik-jo berkunjung ke rumah mertuanya, secara tidak sengaja di kamar buku ayah mertuanya ia menemukan sejilid buku ‘GIOK LEK’. kitab suci yang kuno, hatinya amat senang dan riang. lalu dibungkusnva hati-hati serta dibawa pulang. Malam itu juga ia mulai menyalin hingga seratus dua puluh jilid, seratus delapan jilid antaranya ia berikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang ternama.
Tatkala itu kaisar Kian-liong sudah bertahta puluhan tahun, pada malam hari raya Goan-siau, di kamarnya Wan Tik-jo duduk melepas lelah. saking capai ia terlena sebentar, saat itulah mendadak ia beroleh mimpi, secara tiba-tiba ibunya datang dan mengelus punggungnya, suaranya lembut :“Putraku memang amat berbakti. Karena karnu menyalin kitab Giok-lek dan banyak menganjurkan orang beramal dan berlaku bajik, ada empat puluh sembilan orang dapat kau sadarkan, kini mereka juga mulai beramal dan berdharma kepada sesama manusia. Maka Giok-ong memberi idzin kepadaku untuk menyampaikan pesan ini lewat mimpi. Pada tanggal 18 tengah malam yang akan datang, aku akan beroleh pengampunan untuk menitis hidup kembali ke dunia fana. Kau putraku. karena kau juga banyak beramal dan berlaku bajik, engkau akan beroleh banyak rejeki dan berumur panjang.”
Tak terlukiskan, betapa senang Wan Tik-jo dapat bertemu dengan ibunya, saking girangnya air mata tak terbendung lagi, seketika terbayang olehnya akan ayahnya yang juga sudah meninggal dunia, maka ia bertanya kepada sang ibu :“Dimanakah ayah sekarang?”
Ibunya menjelaskan, sudah lama menitis hidup di dunia, semula ia seorang pelajar miskin, tapi karena ia banyak berbuat baik, keadaanya sekarang sudah mulai makmur.”
“Dimanakah tempat tinggalnya? desak Wan Tik-jo.
Tapi ibunya tidak mau menjelaskan. malah mendorongnya perlahan hingga Tik-jo jatuh dari kursi, seketika ia terjaga.
Apa yang ia beroleh dalam mimpi dijelaskan kepada istrinya, tapi sikap istrinya ragu-ragu, “Semua ini kukira hanyalah ilusimu sendiri, dan pagi sampai malam kau sibuk menyalin kitab suci melulu, sudah tentu kau mudah terpengaruh oleh keinginan yang muluk-muluk. Di dunia ini kurasa tak mungkin terjadi kisah yang kau ceritakan itu .”
Esok harinya, Wan Tik-jo bersembahyang di pusara ibunya, sambil menaikan dupa ia berdoa :“Semalam anak bermimpi bertemu dengan ibu, tapi istriku tidak percaya, mohon ibu memberikan mimpi sekali lagi, supaya menantumu itu yakin dan percaya betul adanya mimpi ini.”
Tengah malam itu, Tik-jo bermimpi lagi bertemu ibunya, begitu datang ibunya langsung menuding menantunya dan menegurnya dengan pedas, “Kau tidak senang suamimu menyalin kitab ‘Giok-lek, secara diam-diam kau merobeknya lima jilid. Hampir saja urusan baik ini kau gagalkan, masih berani kau mengadu domba kami ibu dan anak, kau sungguh bejat., memalukan keluarga saja, ingat. bencana akan segera menimpamu.”
Wan Tik-jo melonjak bangun dan tidurnya saking kaget mendengar teguran ibunya, seketika ia tanya kepada isterinya apa benar ia merobek lima jilid kitab Giok-lek’?
Dengan tegas isterinya mungkir, malah mengomel, Kitab Giok-Lek itu kau sendiri yang menulisnya, dengan kedua tanganmu pula kau serahkan kepada orang, sisanya kau simpan dan dikunci dalam lemari, kapan aku pernah manyentuhnya. Kau sendiri juga tak pernah merasa kehilangan meski satu buku saja, tanpa sebab kenapa justru aku yang kau jadikan sasaran?”
Mendengar penjelasan istrinya, Wan Tik-jo menjadi bimbang, apa yang di ucapkan istrinya juga masuk diakal. Karena selama ini belum pernah ia kehilangan kitab Giok-lek, mana mungkin ada lima buku yang disobek istrinya?
Tengah malam tanggal 17. Wan Tik-jo kembali bermimpi, dilihatnya sang ibu menyeret isterinya kedepannya, “Perempuan jalang,”makinya sambil menu ding, “Tanggal 6 bulan tujuh tahun lalu, dengan Ciu Hong-koh tetangga kita itu, waktu kalian semeja menyulam kembang, kau mendindih beberapa lembar kitab Giok-lek di antara tumpukan sulaman kaos kaki, perbuatanmu ini sudah melanggar pantangan besar. Malam kedua kaumarah terhadap Tik-jo karena melarang Hong-koh datang ke rumah kita, lalu kau robek lima jilid kitab Giok- lek. Tanggal 8 pagi, kebetulan adik kandungmu Si Hok dolan kerumah kita, dia melihat kau merobek lima kitab Giok-lek itu, takut dimaki dan dihajar Tiok- jo, secara diam-diam ía bawa pulang kelima kitab Giok-lek yang kaurobek-robek itu, lalu ditambalnya kembali dengan teliti, sesuai apa yang dipesan oleh Tiok- Jo, ia serahkan kelima kitab Giok-lek itu kepada orang-orang tertentu. Belakangan Tik-jo amat hati-hati takut melakukan kesalahan, maka kitab-kitab itu ia simpan dan dikunci dalam lemari, sehingga engkau tidak bisa merobeknya lagi, benar tidak? Coba kau mungkir lagi? Karena hatimu jahat, bencana sudah di depan matamu, sebetulnya aku tidak tega melihat engkau mati mengenaskan.Lalu ia dorong menantunya itu hingga jatuh menubruk kursi.
Tiok-jo dan istrinya terjaga bangun karena kaget oleh suara gaduh jatuhnya kursi, apa yang mereka lihat dalam mimpi sama. Karena takut di maki suaminya. istrinya malah ngomel lebih dulu, “Kalau percaya ya ada malaikat. kalau tidak percaya, ya tidak apa-apa…….” belum habis ia bicara mendadak dilihatnya segulung benda hitam besar menggelinding masuk lewat jendela menerjang kearah ranjang, saking kaget dan ketakutan ia menjerit ngeri, badan gemetar dan berkeringat, dengan muka pucát ia memeluk suaminya. “Kalau benar demikian, lekaslah kau menyalin kitab Giok-lek lebih banyak untuk menebus dosaku.”
Peristiwa yang beruntun ini benar-benar menyadarkan Tik-jo akan kenyataan yang dihadapinya, ia lahu bahwa istrinya memang benar telah melanggar pantangan besar, kemungkinan bahaya kematian sewaktu-waktu akan menimpa dirinya, padahal ia tahu bahwa istrinya kini sedang mengandung beberapa bulan, dalam usia yang sudab mendekati setengah abad dan belum dikaruniai keturunan lagi, sudah tentu Tik-jo tidak rnau berpeluk tangan, betapa risau dan bingung hatinya dapatlah dibayangkan. Malam itu badan istrinya mulas panas, perutnya juga sakit bukan main, beberapa tabib pandai telah diundang untuk memeriksa, obat juga sudah dihabiskan. namun tanda-tanda mau melahirkan belum kelihatan, bukan malah sembuh penyakitnya justru makin gawat, seluruh keluarga kebingungan dan tak tahu apa lagi yang harus dilakukan
Seperti biasa setiap hari Tik-jo pasti bersembahyang, hari-hari belakangan ini, Ia malah sembahyang dipinggir pembaringan istrinya yang juga dianjurkan bertobat menyesali perbuatannya, berjanji selanjutnya tidak akan melakukan kesalahan dan berbuat kebajikan, seluruh simpanannya selama ini akan dijual, dananya akan disalurkan ke panti asuhan anak-anak yatim piatu dan orang tua jompo. Tak lupa ia juga mendesak suaminya untuk lebih banyak menyalin kitab Giok-lek untuk disebarkan lebih luas lagi. hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tanpa terasa setengah tahun telah lewat. Tiok-jo suami istri tidak kenal lelah terus bersujud dan mohon pengampunan kepada para dewa dan malaikat. Segala perbuatan manusia baik maupun buruk tentu ada balasannya, peristiwa itu terjadi pada suatu malam dipenghujung tahun, layap-layap tampak oleh istrinya Tiok-jo, datangnya seorang Hwesio berjubah putih melayang masuk lewat jendela, setiba dalam kamarnya Ia mengebas lengan bajunya yang longgar, lingkaran hitam yang selama ini tetap berada di bawah ranjang seketika buyar dan sirna.
Dengan mata terbelalak Ia menceritakan kejadian yang dilihatnya barusan kepada tiga wanita yang selama ini menjaga dirinya, ketiga wanita tetangga itu menyatakan keheranannya, karena mereka tidak melihat kedatangan Hwesio di dalam kamar, namun mereka maklum. Mungkin lantaran sakit terlalau lama. sehingga timbul angan-angan atau pandangan yang kabur.
Tapi secara nyata sejak malam itu keadaan istri Tiok-jo Justru mulai membaik. suhu badannya yang semula tinggi mulai menurun. rasa sakit diperutnya juga mereda. lebih ajaib lagi lima hari kemudian ia melahirkan seorang anak laki-laki yang gemuk lagi montok, ibu dan anak dalam keadaan sehat. Beberapa tahun kemudian beruntun Tiok-jo suami istri beroleh tiga anak laki-laki. belasan tahun kemudian setelah besar. Keempat putra Tiok-jo berhasil lulus ujian negara. satu per satu memperoleh penghargaan dan pangkat tinggi.
Meski bersalah dan. berdosa. kalau seseorang mau insaf dan bertobat banyak me1akulan kebaikan. Tuhan pasti akan memberi pengampunan dan akan beroleh kebaikan pula.
Sejak umur 7 tahun, Wan Tik-jo laki - laki kelahiran Se-yang di propinsi
Su-cwan ini sudah ditinggal mati ayahnya. Untung orang tuanya kaya raya mewariskan banyak harta benda yang tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.
Sejak dilahirkan Wan Tik-jo yang bertubuh cebol dengan penyakit tulang yang sukar disembuhkan ini, teramat disayang dan dimanjakan oleh ibunya Cau-,i. maklumlah darah daging satu-satunya pewaris keluarga Wan ini, .benar - benar merisaukan sanubari sang bunda, maka dengan berbagai upaya Cau-s1 berusaha untuk memberikan yang paling baik lagi pilihan, untuk itu tak segan - segan kepada putra yang tunggal ini.
Ia memberikan makanan yang bergizi tinggi untuk menunjang kesehatan tubuhnya yang tidak tumbuh secara normal. Hal itu terjadi sejak Wan Tik-jo berusia 5 tanun dan dinyatakan sembuh dan suatu penyakit yang hampir melumpuhkan kedua kakinya, setiap hari Cau-si menyem beleh dua ekor ayam atau itik, dimasak dengan racikan obat yang paling mujarab, kaldu ayam itu diberikan kepada sang putra.
Untuk mensuplai makanan bergizi putranya ini, di depan dan dli belakang pekarangan rumahnya, Cau-si beternak ayam dan itik secara hesar-besaran, sejak umur 5 sampai Wan Tik-jo berusia 19. dua ekor ayam atau itik disembeleh tiap hari tanpa putus atan berhenti.
Lantaran perbuatan Cau-si yang main bunuh unggas secara berkepanja ngan ini. jelas dan pasti bahwa dia takkan memperoleh pengampunan dan maaf dari Yang Maha Kuasa, para malaikat dan dewata yang berada di akhirat justru teramat marah, karena perbuatannya boleh dianggap teramat kejam dan setimpal kalau diberi ganjaran yang sesuai dengan perbuatannya. Tatkala Wan Tik-jo bcrusia 15, suatu pagi waktu bangun tidur, Cau-si mendapatkan kulit badannya gatal-gatal dan membengkak merah seperti bekas gigitan nyamuk, makin lama bercak-bercak merah itu makin meluas keseluruh badan, lima hari kemudian bercak-bercak merah itu bernanah dan sakitnya makin tak tertahankan. Belasan tabib pandai diundang untuk mengobati penyakitnya itu, namun puluhan macam obat sudah ditelannya, tiada satu pun yang dapat menyembuhkan penyakit kulitnya itu.
Betapa berat dan payah siksa derita yang menimpa Cau-si, dapatlah kita bayangkan, namun ibu yang satu ini tidak pernah mengeluh, meski bertahun- tahun lamanya penyakit kulit itu tidak tersembuhkan bahkan membusuk dan mengeluarakan bau busuk, namun kasih sayang terhadap putranya tetap tebal, porsi makanan dua ekor ayam atau itik Tiap hari untuk putranya tetap berlangsung.
Wan Tik-jo adalah pemuda yang berhati polos dan soleh, sejak masih kecil ia sudah mengerti bagaimana harus berbakti terhadap ibunya yang berjerih payah merawat dan rnengasuh dirinya yang tanpa-daksa. Melihat ibunya dihingapi penyakit kulit yang begitu menjijikan, dalam hati ia sudah maklum lantaran apa ibunya terserang penyakit kulit itu. Pernah timbul hasrat dalam sanubarinya untuk membujuk sang ibu supaya menghentikan penyembelihan ayam dan itik itu. Pernah ia membinmbing ibunya kebelakang rumah, melihat semua tulang-tulang dan bulu-bulu ayam dan itik yang bertumpuk menggunung, tapi semua usaha ibunya itu juga adalah untuk menunjang kesehatan dirinya, apapun alasannya. Sang bunda menolak bujukan putranya untuk menghentikan penyembelihan ayam dan itik. Walau hati kecilnya merasa sedih dan tersiksa namun Wan Tik-jo tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya ia mandah saja membiarkan perbuatan sang ibu, menyembelih dua ekor ayam atau itik tiap hari untuk putranya.
Hari ke hari penyakit Cau-si bertambah parah, selama tujuh tahun ia rebah di ranjang dengan rintihan dan jeritan-jeritan yang menyayat hati. Sekujur badannya membusuk dan berbau busuk, menjelang ajalnya rintihan dan jeritannya berubah mirip suara ayam dan itik, dengan jari-jari kedua tangannya ia mengaruk dan mencakar badanya sendiri, darah segar tak terbendung membasahi sekujur badan, setelah tujuh hari tujuh malam tersiksa dan menderita baru menghemuskan napas terakhir.
Waktu ibunya memanggil, Wan Tik-jo sudah dewasa, dengan memdelong ia saksikan kematian ibunya yang mengenaskan, sepanjang hari air matanya berderai hatinya sungguh sedih seperti disayat-sayat ia tahu siksa derita yang dialami ibunya lantaran dosa-dosanya menyembelih ayam dan itik untuk menunjang kesehatan badannya, maka diam-diam ia bersumpah untuk berpantang membunuh. Di rumahnya tidak boleh memelihara ayam, itik atau unggas lainnya.
Sejak kematian ibunya ia mulai makan secara vegetanis, hidangan yang disantapnya tiap hari tiada satupun barang berjiwa tak lupa pagi sore ia sujud sembayang dan memanjatkan doa mohon kemurahan Yang Maha Kuasa untuk mengampuni dosa-dosa ibunya.
Beberapa bulan setelah itu Wak Tin-jo meninggal dunia. Cerita ini beralih pada seorang wanita yang bernama Wan Ling-koh, Wan Ling-koh adalah famili dekat Wan Tik-jo, anak dari pamannya yang tinggal dilain desa.
Setahun yang lalu Wan Tik-koh menikah dengan seorang pemuda dari Negara Chi, namun Wan Ling-koh meninggal dunia waktu sulit melahirkan Nah, kisah menceritakan arwah Wan Ling-koh yang sudah meninggal dunia, digusur kehadapan Giam-lo-ong, kepada hakim pembantunya Coh-kang-ong memerintahkan supaya rnemeriksa riwayat hidup Wan Ling-koh semasa berada di dunia fana. Hakim akhirat memberikan laporannya :“Perempuan ini bernama Wan Ling-koh ditakdirkan mati waktu melahirkan anaknya. Tapi tiga kali ia pernah menasehati sang mertua supaya tidak menebang dan membakar pohon yang menjadi sarang semut. Pernah pula membujuk sang suami untuk mencetak 5000 jilid buku yang berisi penjelasan pantang membunuh, dan menderma uang untuk mencetak 3000 exemplar Pang-sing-king, ajaran yang menganjurkan kepada manusia supaya tidak memhunuh sesamanya dan membebaskan binatang- binatang peliharaan yang terbelenggu kebebasannya. Hatinya bijak lagi welas asih, menurut petunjuk langsung dan. putusan Thian-ting, sepantasnya ia memperoleh perpanjangan usia selama 15 tahun.”
Maka Coh-kang-ong segera memerintahkan petugasnya yang berbaju hijau membawanya keluar dan dihantar kembali ke dunia fana.
Waktu Wan Ling-koh mengikuti petugas yang akan membimbingnya keluar dan akhirat, tatkala tiba di ambang pintu gerbang merah yang berukir warna emas, mendadak ia mendengar suara yang memanggil namanya, waktu ia menoleh dilihatnya seorang perempuan dengan rambut awut-awutan dan sekujur badan berlepotan darah sedang melambaikan tangan kearahnya, Wan Ling-koh mengenal perempuan itu tak lain adalah bibinya Cau-si atau ibunda Wan Tik-jo. Sambil meratap perempuan itu menjerit kearahnya :“Semasa hidup di dunia fana, dosaku sungguh tidak terampunkan lagi, maka di akhirat aku tersiksa, kalau kau sudah kembali ke dunia fana, tolong sampaikan kepada putraku, supaya Ia banyak beramal dan berbuat kebajikan menolong sesamanya, kebaikannya itu akan banyak mengurangi tempoku menderita diakhirat ini. Bagaimana keadaanku selanjutnya, akan kukisahkan padanya dalam mimpi.”
Baru saja Cau-si habis bicara, dan samping pintu muncul setan kepala kerbau berambut merah yang bertampang buas, dengan tombak trisula ditangannya Ia menusuk leher perempuan itu lalu diseret masuk kesebelah dalam, darah tampak meleleh dan luka di leher Cau-si.
Melihat adegan yang seram menakutkan itu, sungguh pecah nyali Wan Ling-koh, saking takut badan sampai gemetar dan mecucurkan keringat dingin, bergegas Ia membalik badan lalu berlari menyusul setan baju hijau yang akan mengantarnya kembali ke dunia fana.
Sudah setengah hari Wan Ling-koh meninggal dunia, jenasahnya masih membujur kaku di pembaringan, untung belum dimasukan ke dalam layon. Badannya yang semula sudah dingin kaku tiba-tiba menghangat, tiba-tiba kelopak matanya bergerak-gerak lalu membuka mata dan kaki tangan pun mulai bergerak. Pelan-pelan Ia bangun berduduk, sudah tentu kejadian yang tak terduga ini mengejutkan dan menggemparkan seluruh keluanga, syukurlah mereka cukup tabah menghadapi kenyataan yang dihadapi ini, paling girang sudah tentu adalah suaminya, syukur pula putra yang dilahirkan selamat dan sehat.
Beberapa hari kemudian, Wan Ling-koh berkunjung kerumah Wan Tik jo serta menceritakan pengalamannya, dituturkan pula bagaimana di ambang pintu gerbang akhirat ia bertemu dengan ibu Wan Tik-jo serta pesan yang minta disampaikan kepada putranya.
Wan Tik-jo memang anak berbakti, ia setelah tahu penderitaan yang diálami ibunya di akhirat, betapa sedih dan pilu. hatinya. Sejak hari itu ia bekerja lebih keras, berupaya melakukan kebaikan. beramal menolong simiskin. mengadakan upacara sembahyang yang dipimpin kawanan Hwesio, sementara setiap pagi dan sore, Wan Tik-jo sendiri juga selalu membaca mantra dengan harapan dapat menebus dosa-dosa ibunya, selama sembilan belas tahun tak pernah Wan Tik-jo merasa Jemu atau bosan, padahal waktu itu usianya sudah tiga puluh delapan tahun, namun selama ini belum perah ia beroleh mimpi dan ibunya.
Isteri Wan Tik-jo dari marga Si, segenap keluarga mertuanya juga dianjurkan untuk beramal dan banyak melakukan perbuatan baik bagi sesamanya.
penduduk desa juga dianjurkan untuk tidak membunuh, dianjurkan untuk rnencetak kitab-kitab suci, serta ikut menyebar luaskan ajaran agama.
Suatu ketika, waktu Wan Tik-jo berkunjung ke rumah mertuanya, secara tidak sengaja di kamar buku ayah mertuanya ia menemukan sejilid buku ‘GIOK LEK’. kitab suci yang kuno, hatinya amat senang dan riang. lalu dibungkusnva hati-hati serta dibawa pulang. Malam itu juga ia mulai menyalin hingga seratus dua puluh jilid, seratus delapan jilid antaranya ia berikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang ternama.
Tatkala itu kaisar Kian-liong sudah bertahta puluhan tahun, pada malam hari raya Goan-siau, di kamarnya Wan Tik-jo duduk melepas lelah. saking capai ia terlena sebentar, saat itulah mendadak ia beroleh mimpi, secara tiba-tiba ibunya datang dan mengelus punggungnya, suaranya lembut :“Putraku memang amat berbakti. Karena karnu menyalin kitab Giok-lek dan banyak menganjurkan orang beramal dan berlaku bajik, ada empat puluh sembilan orang dapat kau sadarkan, kini mereka juga mulai beramal dan berdharma kepada sesama manusia. Maka Giok-ong memberi idzin kepadaku untuk menyampaikan pesan ini lewat mimpi. Pada tanggal 18 tengah malam yang akan datang, aku akan beroleh pengampunan untuk menitis hidup kembali ke dunia fana. Kau putraku. karena kau juga banyak beramal dan berlaku bajik, engkau akan beroleh banyak rejeki dan berumur panjang.”
Tak terlukiskan, betapa senang Wan Tik-jo dapat bertemu dengan ibunya, saking girangnya air mata tak terbendung lagi, seketika terbayang olehnya akan ayahnya yang juga sudah meninggal dunia, maka ia bertanya kepada sang ibu :“Dimanakah ayah sekarang?”
Ibunya menjelaskan, sudah lama menitis hidup di dunia, semula ia seorang pelajar miskin, tapi karena ia banyak berbuat baik, keadaanya sekarang sudah mulai makmur.”
“Dimanakah tempat tinggalnya? desak Wan Tik-jo.
Tapi ibunya tidak mau menjelaskan. malah mendorongnya perlahan hingga Tik-jo jatuh dari kursi, seketika ia terjaga.
Apa yang ia beroleh dalam mimpi dijelaskan kepada istrinya, tapi sikap istrinya ragu-ragu, “Semua ini kukira hanyalah ilusimu sendiri, dan pagi sampai malam kau sibuk menyalin kitab suci melulu, sudah tentu kau mudah terpengaruh oleh keinginan yang muluk-muluk. Di dunia ini kurasa tak mungkin terjadi kisah yang kau ceritakan itu .”
Esok harinya, Wan Tik-jo bersembahyang di pusara ibunya, sambil menaikan dupa ia berdoa :“Semalam anak bermimpi bertemu dengan ibu, tapi istriku tidak percaya, mohon ibu memberikan mimpi sekali lagi, supaya menantumu itu yakin dan percaya betul adanya mimpi ini.”
Tengah malam itu, Tik-jo bermimpi lagi bertemu ibunya, begitu datang ibunya langsung menuding menantunya dan menegurnya dengan pedas, “Kau tidak senang suamimu menyalin kitab ‘Giok-lek, secara diam-diam kau merobeknya lima jilid. Hampir saja urusan baik ini kau gagalkan, masih berani kau mengadu domba kami ibu dan anak, kau sungguh bejat., memalukan keluarga saja, ingat. bencana akan segera menimpamu.”
Wan Tik-jo melonjak bangun dan tidurnya saking kaget mendengar teguran ibunya, seketika ia tanya kepada isterinya apa benar ia merobek lima jilid kitab Giok-lek’?
Dengan tegas isterinya mungkir, malah mengomel, Kitab Giok-Lek itu kau sendiri yang menulisnya, dengan kedua tanganmu pula kau serahkan kepada orang, sisanya kau simpan dan dikunci dalam lemari, kapan aku pernah manyentuhnya. Kau sendiri juga tak pernah merasa kehilangan meski satu buku saja, tanpa sebab kenapa justru aku yang kau jadikan sasaran?”
Mendengar penjelasan istrinya, Wan Tik-jo menjadi bimbang, apa yang di ucapkan istrinya juga masuk diakal. Karena selama ini belum pernah ia kehilangan kitab Giok-lek, mana mungkin ada lima buku yang disobek istrinya?
Tengah malam tanggal 17. Wan Tik-jo kembali bermimpi, dilihatnya sang ibu menyeret isterinya kedepannya, “Perempuan jalang,”makinya sambil menu ding, “Tanggal 6 bulan tujuh tahun lalu, dengan Ciu Hong-koh tetangga kita itu, waktu kalian semeja menyulam kembang, kau mendindih beberapa lembar kitab Giok-lek di antara tumpukan sulaman kaos kaki, perbuatanmu ini sudah melanggar pantangan besar. Malam kedua kaumarah terhadap Tik-jo karena melarang Hong-koh datang ke rumah kita, lalu kau robek lima jilid kitab Giok- lek. Tanggal 8 pagi, kebetulan adik kandungmu Si Hok dolan kerumah kita, dia melihat kau merobek lima kitab Giok-lek itu, takut dimaki dan dihajar Tiok- jo, secara diam-diam ía bawa pulang kelima kitab Giok-lek yang kaurobek-robek itu, lalu ditambalnya kembali dengan teliti, sesuai apa yang dipesan oleh Tiok- Jo, ia serahkan kelima kitab Giok-lek itu kepada orang-orang tertentu. Belakangan Tik-jo amat hati-hati takut melakukan kesalahan, maka kitab-kitab itu ia simpan dan dikunci dalam lemari, sehingga engkau tidak bisa merobeknya lagi, benar tidak? Coba kau mungkir lagi? Karena hatimu jahat, bencana sudah di depan matamu, sebetulnya aku tidak tega melihat engkau mati mengenaskan.Lalu ia dorong menantunya itu hingga jatuh menubruk kursi.
Tiok-jo dan istrinya terjaga bangun karena kaget oleh suara gaduh jatuhnya kursi, apa yang mereka lihat dalam mimpi sama. Karena takut di maki suaminya. istrinya malah ngomel lebih dulu, “Kalau percaya ya ada malaikat. kalau tidak percaya, ya tidak apa-apa…….” belum habis ia bicara mendadak dilihatnya segulung benda hitam besar menggelinding masuk lewat jendela menerjang kearah ranjang, saking kaget dan ketakutan ia menjerit ngeri, badan gemetar dan berkeringat, dengan muka pucát ia memeluk suaminya. “Kalau benar demikian, lekaslah kau menyalin kitab Giok-lek lebih banyak untuk menebus dosaku.”
Peristiwa yang beruntun ini benar-benar menyadarkan Tik-jo akan kenyataan yang dihadapinya, ia lahu bahwa istrinya memang benar telah melanggar pantangan besar, kemungkinan bahaya kematian sewaktu-waktu akan menimpa dirinya, padahal ia tahu bahwa istrinya kini sedang mengandung beberapa bulan, dalam usia yang sudab mendekati setengah abad dan belum dikaruniai keturunan lagi, sudah tentu Tik-jo tidak rnau berpeluk tangan, betapa risau dan bingung hatinya dapatlah dibayangkan. Malam itu badan istrinya mulas panas, perutnya juga sakit bukan main, beberapa tabib pandai telah diundang untuk memeriksa, obat juga sudah dihabiskan. namun tanda-tanda mau melahirkan belum kelihatan, bukan malah sembuh penyakitnya justru makin gawat, seluruh keluarga kebingungan dan tak tahu apa lagi yang harus dilakukan
Seperti biasa setiap hari Tik-jo pasti bersembahyang, hari-hari belakangan ini, Ia malah sembahyang dipinggir pembaringan istrinya yang juga dianjurkan bertobat menyesali perbuatannya, berjanji selanjutnya tidak akan melakukan kesalahan dan berbuat kebajikan, seluruh simpanannya selama ini akan dijual, dananya akan disalurkan ke panti asuhan anak-anak yatim piatu dan orang tua jompo. Tak lupa ia juga mendesak suaminya untuk lebih banyak menyalin kitab Giok-lek untuk disebarkan lebih luas lagi. hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tanpa terasa setengah tahun telah lewat. Tiok-jo suami istri tidak kenal lelah terus bersujud dan mohon pengampunan kepada para dewa dan malaikat. Segala perbuatan manusia baik maupun buruk tentu ada balasannya, peristiwa itu terjadi pada suatu malam dipenghujung tahun, layap-layap tampak oleh istrinya Tiok-jo, datangnya seorang Hwesio berjubah putih melayang masuk lewat jendela, setiba dalam kamarnya Ia mengebas lengan bajunya yang longgar, lingkaran hitam yang selama ini tetap berada di bawah ranjang seketika buyar dan sirna.
Dengan mata terbelalak Ia menceritakan kejadian yang dilihatnya barusan kepada tiga wanita yang selama ini menjaga dirinya, ketiga wanita tetangga itu menyatakan keheranannya, karena mereka tidak melihat kedatangan Hwesio di dalam kamar, namun mereka maklum. Mungkin lantaran sakit terlalau lama. sehingga timbul angan-angan atau pandangan yang kabur.
Tapi secara nyata sejak malam itu keadaan istri Tiok-jo Justru mulai membaik. suhu badannya yang semula tinggi mulai menurun. rasa sakit diperutnya juga mereda. lebih ajaib lagi lima hari kemudian ia melahirkan seorang anak laki-laki yang gemuk lagi montok, ibu dan anak dalam keadaan sehat. Beberapa tahun kemudian beruntun Tiok-jo suami istri beroleh tiga anak laki-laki. belasan tahun kemudian setelah besar. Keempat putra Tiok-jo berhasil lulus ujian negara. satu per satu memperoleh penghargaan dan pangkat tinggi.
Meski bersalah dan. berdosa. kalau seseorang mau insaf dan bertobat banyak me1akulan kebaikan. Tuhan pasti akan memberi pengampunan dan akan beroleh kebaikan pula.
Similar topics
» UJIAN BAGI SEORANG UMAT BUDDHA
» Sang Hyang Mahayana
» Kembali Bertemu Sang Buddha
» SENG HONG SANG TABIB
» Namah Sarva Arya Sharira Dhatu
» Sang Hyang Mahayana
» Kembali Bertemu Sang Buddha
» SENG HONG SANG TABIB
» Namah Sarva Arya Sharira Dhatu
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik